Kopi Torabica Siap Ditantang Kopi Papuabica

oleh: Engelbertus Pr Degey

Ini berita menarik bagi pecandu kopi. Melalui Yayasan Bina Mandiri Utama (Yabimu), sudah mulai mempersiapkan berbagai hal guna mengangkat kopi arabica asli dari Papua untuk diekspor keluar Papua. Namanya pun sudah diberikan, Papuabica, begitupun logonya sudah dirancang oleh Frans X Wakei.


Direktur Yabimu, Ambrosius Degey, SH belum lama ini di ruang kerjanya mengatakan, pihaknya sedang mempersiapkan nama dan logo untuk ditawarkan kepada lembaga nirlaba asal Inggris, Oxfam Great Britania. Bila disepakati bersama, maka nama itu tetap akan digunakan sebagai nama asli kopi Papua yang sebelumnya lebih terkenal dengan nama, Kopi Murni Moanemani.


Kopi Murni Moanemani yang dikelolah Y-P5 sempat macet, dan potensi tersebut dilirik YABIMU dan ditawarkan kepada lembaga donator agar mendapat dukungan agar kopi asli gunung Papua itu bisa diproduksi kembali. Bagi setiap orang yang pernah mengkonsumsi kopi tersebut, akan menilai sendiri perbedaan rasanya.


Lanjut Ambros, program tersebut telah menjadi pilot project Oxfam dan akan menjadi proyek percontohan di tanah Papua. Program tersebut sudah mendapat dukungan penuh dari Wakil Gubernur Provinsi Papua, Alex Hesegem, SE. Alasannya, program tersebut ikut membantu pemerintah dalam rangka meningkatkan perekomonian rakyat dengan membantu memasarkan kopi milik masyarakat kecil di kampung-kampung (dusun-dusun) tanah Papua.


Hanya saja, menurut Ambros, pemerintah provinsi tidak bisa berbuat apa-apa membantu sedikitpun karena APBD sudah selesai dan bila memungkinkan pada tahun anggaran berikut pemerintah akan mendukung berupa finansial. Tetapi khusus kepada pemerintahan kampung, menurut Wagub, dalam waktu dekat akan menyalurkan dana 100 juta rupiah per kampung. Diharapkan dengan dana itu, terutama masyarakat petani kopi, agar kepala kampungnya mau menggalakkan pertanian kopi selagi ada dukungan dari lembaga dunia untuk membantu memasarkan kepada konsumen.


Selama ini sajian kopi yang terkenal di tanah Papua adalah Kopi Murni Moanemani. Kopi yang digiling oleh Yayasan P-5 Moanemani ini menjadi laku di pasaran, karena kadar aroma kopine (arabika)-nya sangat tinggi. Tidak seperti kopi buatan pabrik lain atau kopi impor. Agar laku, sering kopi impor meniru cap / lebel Kopi Murni Moanemani, tetapi rasanya tetap beda. Hanya saja upaya P-5 Moanemani ini tidak mendapat dukungan sehingga Yabimu-Oxpam mencoba membangkitkan dengan cara mengumpulkan kopi dari masyarakat dan membantu memasarkan kepada konsumen.


Lanjut Ambros, jalur pemasaran akan dicoba lewat Enarotali - Kabupaten Paniai. Karena dari sisi transportasi, Kamuu-Mapia ke Enarotali sangat dekat dan bisa dijangkau dengan biaya murah. Kedua, karena dari Enarotali lebih mudah dipasarkan ke Nabire, Sugapa, Timika atau langsung ke Ibukota Provinsi Papua.


Dikatakan, Oxfam sendiri sedang membangun kantor perwakilan di tanah Papua, tepatnya di Jayapura. Dengan adanya kantor perwakilan ini, Oxfam akan menggalakkan berbagai kegiatan pembangunan yang pada prinsipnya membantu pemerintah daerah dalam membangun masyarakat yang berada di kempung-kampung.


Data Papuapos, selain membantu menggalakan perekomonian daerah, Yabimu juga sering melakukan pendampingan di bidang perkoperasian. Salah satu upaya di bidang kemanusiaan adalah, pasca gempa melanda kota Nabire dan sekitarnya, Yabimu gandeng UNDP membangun sejumlah TK dan SD yang hancur berantakan oleh Gempa.


sumber foto: blog.chosun.com

(Sumber: http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=3505)
Membangun Ekonomi Orang asli Papua ??


Oleh Longginus Manangsang*)


Memburuknya tatanan ekonomi Indonesia dan krisis ekonomi yang berkepanjangan yang menerpa bangsa Indonesia mengakibatkan rakyat semakin menderita dan sulit untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Pemerintah seakan kehilangan akal untuk mencari alernatif bentuk dan tatanan perekonomian yang lebih berkeadilan dan lebih mampu melindungi kalangan masyarakat kelas marjinal di Indonesia yang diperparah dengan melonjaknya angka penganguran.

Dalam konteks Otonomi Khusus (Otsus) di Papua, pembagunan ekonomi kerakyatan sangat penting untuk rakyat asli Papua, hal ini dimaksudkan agar rakyat asli Papua mampu bersaing dengan golongan pendatang. Dana Otsus yang besar seakan tidak mampu mengubah ketepurukan ekonomi rakyat asli Papua yang rata-rata masih jauh dari kesejahteraan yang mestinya mereka peroleh.

Ekonomi Kerakyatan
Menurut Mubyarto (2001), sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang memihak pada kepentingan ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat adalah sektor ekonomi yang mencakup usaha-usaha kecil, menengah dan koperasi sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional. Sementara ekonomi kerakyatan berdasarkan TAP MPR IV/1999 disebutkan pengertian ekonomi kerakyatan adalah pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpuh pada mekanisme pasar yang berkeadilan, berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan.

Arah kebijakan ekonomi ditujukan untuk mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat.

Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa ekonomi kerakyatan berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat kecil. Rakyat asli Papua yang berada pada era Otsus seakan jauh dari yang mestinya mereka pahami dan peroleh dari pemerintah sebagai pengayom. Bila kita melihat lebih jauh pembangunan ekonomi kerakyatan oleh pemerintah untuk rakyat, yang berasal dan berakar pada rakyat belum terlalu penting.

Pembangunan Ekonomi kerakyatan yang bertumpuh pada kemampuan dan kemandirian rakyat dalam mengambil keputusan pengelolaan sistem usaha yang sesuai dan dinamis adalah merupakn hal dasar yang sangat penting dan harus menjadi prioritas. Namun, bukan berarti melupakan pembangunan di bidang lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.

Dengan melihat potensi daerah di Papua, ekonomi kerakyatan yang mestinya dikembangkan dengan sistem ekonomi pertanian rakyat yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan, berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Pertanian kerakyatan merupakan pertanian yang berkelanjutan yang tidak membawa dampak samping bagi kesehatan dan kesejahteraan hidup rakyat dan lingkungan hidup di pedesaan. Pertanian kerakyatan merupakan kegiatan pertanian yang dilaksanakan sendiri oleh rakyat secara profesional, berdaya saing dengan memanfaatkan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pilar utama atau kekuatan utama pelaksana pertanian kerakyatan adalah usaha kecil, menengah dan koperasi. Sumber daya manusia yang berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan berarti bahwa sumber daya manusia yang memahami dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Demikian juga pada sektor pertanian, SDM yang akan menjadi pelaksana pertanian kerakyatan harus memahami prinsip, falsafah dan praktik pertanian berkelanjutan. Pada konsideran UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman butir (b) dinyatakan bahwa sistem pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan perlu ditumbuhkembangkan dalam pembangunan pertanian secara menyeluruh dan terpadu.

Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber daya alam dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan yang dilaksanakan sedemikian rupa sehingga dapat menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang (FAO, 1989). Pembangunan di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan harus mampu mengkonservasi tanah, air, tanaman dan sumber genetik binatang, tidak merusak lingkungan, secara teknis tepat guna, secara ekonomi layak dan secara sosial dapat diterima.

Membangun Ekonomi Rakyat Asli Papua
Dinamika pembangunan di Papua seakan melupakan pembangunan ekonomi kerakyatan. Pemerintah benar-benar sibuk pada urusan birokrasi. Para elit politik lokal berkonspirasi untuk mengejar tampuk kekuasaan, sementara rakyat dididik untuk berharap yang instant.

Pembangunan yang diarahkan pada ekonomi kerakyatan diharapkan rakyat dapat bersaing dengan golongan pendatang yang rata-rata adalah golongan ekonomi menegah dan atas. Hal ini diharapkan mengantarkan rakyat asli Papua agar dapat dihargai sebgaimana mestinya di tanahnya sendiri.

Banyak daerah dimekarkan dengan maksud untuk kesejahteraan, akan tetapi sepertinya ekonomi rakyat asli Papua tetap saja morat marit, dan hal ini dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan dimanfaatkan oleh saudara-saudara kita yang datang untuk mencari hidup di tanah Papua dengan membaca peluang yang ada.

Dengan demikian adalah keliru jika ada yang mengatakan Otsus akan mensejahterakan rakyat asli Papua. Secara politik memang kita telah diberikan Otsus dari pemerintah pusat, namun itu tidak semuanya, nyatanya hinggakini kita tetap saja tidak mampu untuk melaksanakan otsus dengan sepenuhnya. Namun hal yang terpuruk adalah bahwa kenyataannya masih ada neokolonialisme yang bersarang dalam struktur ekonomi-politik di Papua. Struktur neokolonial yang menciptakan penderitaan berkepanjangan bagi sebagian besar rakyat Papua sementara sebagian orang serakah, hidup sejahtera dengan harta yang berlimpah.

Mentalitas masyarakat asli Papua harus berubah, yang tadinya citra anggota parlemen dan pejabat negara berorientasi pada kekuasaan dan feodal harus menjadi demokratis yang bertumpu pada kemanusiaan dan keadilan sosial. Rakyat asli Papua membutuhkan pemerintahan yang berorientasi pada rakyat, menjunjung tinggi kepentingan rakyat. Bukan pemerintah yang jauh dari jati dirinya yang luhur sebagai wakil dan pelayan rakyat.

Untuk itulah, perjuangan Otsus belum berakhir sampai di sini. Jutaan rakyat Papua hidupnya masih dibelenggu oleh kemiskinan dan kemelaratan. Kemiskinan penduduk di sini erat sekali kaitannya dengan ekonomi kerakyatan. Seperti itulah pembagunan di Papua yang berlogo Otsus.

Terlepas dari pembahasan di atas, proses pemberdayaan ekonomi rakyat adalah merupakan upaya seluruh lapisan masyarakat Papua. Keberhasilan dalam meningkatkan posisi ekonomi merupakan fungsi dari sistem sosial kita secara keseluruhan, dengan memperioritaskan pembagunan ekonomi kerakyatan bagi rakyat asli Papua, tanpa mengesampingkan pembangunan di bidang lain seperti kesehatan dan pendidikan yang juga sanggat penting.

Oleh karenanya, pemerintah memerhatikan nasib rakyat dengan memberdayakan masyarakat melalui ekonomi kerakyatan. Mengubah mentalitas rakyat agar tidak lagi berharap instan. Di sisi lain dihaarakap pula mentalitas pemimpin daerah para birokrat dan elit politik lokal dapat megubah perilaku menyimpang dan lebih memperhatikan rakyat sesuai dengan tanggung jawabnya.

Sumber: Majalah SELANGKAH


Dampak Kegagalan Otsus Papua



Oleh
Neles Tebay

Sudah diakui bahwa pemerintah telah gagal melaksanakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua (Sinar Harapan, 26/11/2008). Kegagalan ini pasti membawa dampaknya sehingga pemerintah mesti siap menuai berbagai efek negatif yang muncul. Pemerintah perlu menyadari bahwa status Otonomi Khusus diberikan tujuh tahun lalu kepada Provinsi Papua sebagai jawaban atas tuntutan Merdeka alias “M” yang digaungkan oleh orang Papua. Sebagai bukti keseriusannya, pemerintah menerbitkan Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Dipandang sebagai solusi politik yang realistis, komunitas internasional memuji Pemerintah Indonesia atas kebijakan Otsus ini. Dukungan bahwa Papua tetap bagian dari Indonesia pun mengalir dari berbagai negara di dunia. Komunitas internasional bertekad, bersama Pemerintah Indonesia, untuk mensukseskan implementasi UU Otsus Papua. Maka yang diharapkan adalah tingkat kesejahteraan hidup orang asli Papua bakal semakin baik, rasa keadilannya terjawab, dan hak hidupnya dijamin. Dengan demikian, bendera Bintang Kejora tidak dikibarkan dan tuntutan “M” tidak terdengar lagi karena orang Papua merasakan manfaat dari implementasi UU Otsus.
Rupanya asumsi di atas ini belum menjadi kenyataan. Karena orang Papua tidak merasakan perubahan yang signifikan dalam hidupnya setelah pemberlakuan UU Otsus kendati triliunan rupiah sudah dikucurkan ke sana setiap tahun. Sama seperti sebelum 2001, anak-anak Papua di kampung sampai 2008 ini masih saja belum mendapatkan pendidikan bermutu. Puluhan orang Papua mati karena kolera, seperti di Kabupaten Dogiyai di mana sekitar 200-an warga Indonesia meninggal tetapi tidak digubris dengan cepat dan serius oleh pemerintah. Dengan atau tanpa izin, hutan Papua diambil-alih dan terus dibabat oleh perusahaan kelapa sawit dan kayu. Jumlah orang miskin di kampung-kampung terus bertambah.
Didorong oleh kecurigaaan dan ketidakpercayaan, pemerintah dengan sengaja menerbitkan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan UU Otsus, memaksakan penerapannya, yang berakibat pada kekacauan dalam implementasi UU Otsus. Terbukti bahwa selama tujuh tahun ini pemerintah belum menyatakan niatnya untuk mengimplementasikan UU Otsus Papua secara penuh dan konsisten. Dan patut disesalkan bahwa pemerintah belum merasa bersalah atas kebijakan-kebijakan yang kontroversial ini.

International Parliaments
for West Papua
Kini pemerintah mulai menuai hasil dari ketidakseriusannya dalam melaksanakan UU Otsus Papua. Kepercayaan orang Papua terhadap pemerintah sudah mencapai titik terendah. Ramainya pengibaran bendera Bintang Kejora dalam tahun ini menunjukkan bahwa masalah-masalah yang melatarbelakangi tuntutan “M” belum diatasi. Dan itu berarti pemerintah gagal mengimplementasikan UU Otsus.
Ternyata komunitas internasional pun mulai memperlihatkan tanda ketidakpercayaan terhadap Indonesia. Ketidakpercayaan ini terungkap ketika dua anggota Kongres Amerika yang setelah mengunjungi Papua tahun lalu menyatakan kekecewaannya terhadap buruknya implementasi UU Otsus melalui suratnya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah itu, 40 orang anggota Kongres Amerika meminta Presiden Yudhoyono untuk membebaskan dua tahanan politik orang Papua yakni Filep Karma dan Yusak Pakage.
Dalam bulan oktober tahun ini, kita semua dikagetkan oleh berita tentang peluncuran International Parliaments for West Papua (IPWP) dilakukan di House of Commons, 15 Oktober 2009, di London. Sekalipun tidak mewakili parlemen dan pemerintahnya, sejumlah anggota parlemen yang berasal dari beberapa negara telah bergabung dalam IPWP untuk secara bersama mengangkat masalah Papua. Dilaporkan bahwa peluncuran IPWP tersebut bukan acara parlemen Inggris, tapi inisiatif dari dua anggota parlemen saja. Mungkin karena itulah, Dubes Indonesia untuk Inggris menghibur kita dengan mengakui peluncuran trersebut tidak signifikan dan Menlu Hassan Wirajuda menyebut IPWP sebagai “hanya forum kongkow-kongkow”.
Sekalipun peluncuran IPWP tidak perlu dikhawatirkan, kita perlu tahu agenda-agendanya. Seperti yang dilaporkan oleh Cenderawasih Pos (22/10/2008), IPWP akan memperjuangkan, antara lain penentuan nasib sendiri yang baru sesuai hukum internasional bagi Papua, penarikan militer dari Papua, penempatan pasukan perdamaian di Papua di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penghentian penjualan senjata kepada Indonesia sampai semua militer ditarik keluar dari Papua, pengiriman misi pencarian fakta ke Papua. IPWP akan berjuang agar Sekretaris Jenderal PBB meninjau kembali peranan PBB dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, dan mengirim peninjau khusus PBB untuk memantau situasi hak-hak asasi manusia di Papua. Maka, jelas bahwa IPWP tidak menyinggung sama sekali tentang UU Otsus Papua dan penyelesaian masalah Papua melalui dialog.

Rebut Kepercayaan
Kita sulit memprediksi dampak peluncuran IPWP ini. Kita hanya bisa berasumsi bahwa kepercayaan dan dukungan komunitas internasional terhadap Indonesia bisa saja berkurang, sekalipun hal ini tidak bisa ditafsirkan sebagai dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Penurunan dukungan ini dapat saja terjadi, terlebih apabila Pemerintah tidak memperlihatkan niatnya untuk mengimplementasikan UU Otsus secara penuh dan konsisten sebagaimana yang diperlihatkan sejak 2001 hingga kini.
Mengingat dampak yang tidak sederhana ini, pemerintah mesti berusaha merebut kembali kepercayaan orang Papua serta mempertahankan dukungan internasional. Pertama-tama, pemerintah mesti mengakui secara jujur bahwa kegagalannya mengimplementasikan UU Otsus Papua secara konsisten telah melunturkan kepercayaan orang Papua dan mengurangi dukungan komunitas internasional terhadap masalah Papua.
Pemerintah juga mesti menyadari bahwa kepercayaan orang Papua dan komunitas internasional tidak bisa direbut dengan cara menangkap dan memenjarakan orang-orang Papua yang mengibarkan bendera Bintang Kejora atau yang memimpin demonstrasi dukungan terhadap peluncuran IPWP. Protes kepada anggota parlemen Inggris dan Kongres Amerika yang mengutak-utik soal Papua pun tidak akan membuahkan kepercayaan terhadap Indonesia. Kepercayaan yang mulai pudar bisa direbut kembali melalui dialog damai. Sebab itu pemerintah mesti bersedia melakukan dialog dengan orang Papua untuk membahas tentang implementasi UU Otsus Papua.
Dialog ini sangat diperlukan agar pemerintah dan orang Papua secara bersama-sama dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat implementasi UU Otsus, mencari solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, serta membagi dan menetapkan peran bagi setiap stakeholder guna melaksanakan UU Otsus Papua secara utuh dan konsisten.

Penulis adalah dosen STFT Fajar Timur Abepura, Jayapura, Papua.

" Salam kompak selalu "