Dampak Kegagalan Otsus Papua



Oleh
Neles Tebay

Sudah diakui bahwa pemerintah telah gagal melaksanakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua (Sinar Harapan, 26/11/2008). Kegagalan ini pasti membawa dampaknya sehingga pemerintah mesti siap menuai berbagai efek negatif yang muncul. Pemerintah perlu menyadari bahwa status Otonomi Khusus diberikan tujuh tahun lalu kepada Provinsi Papua sebagai jawaban atas tuntutan Merdeka alias “M” yang digaungkan oleh orang Papua. Sebagai bukti keseriusannya, pemerintah menerbitkan Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Dipandang sebagai solusi politik yang realistis, komunitas internasional memuji Pemerintah Indonesia atas kebijakan Otsus ini. Dukungan bahwa Papua tetap bagian dari Indonesia pun mengalir dari berbagai negara di dunia. Komunitas internasional bertekad, bersama Pemerintah Indonesia, untuk mensukseskan implementasi UU Otsus Papua. Maka yang diharapkan adalah tingkat kesejahteraan hidup orang asli Papua bakal semakin baik, rasa keadilannya terjawab, dan hak hidupnya dijamin. Dengan demikian, bendera Bintang Kejora tidak dikibarkan dan tuntutan “M” tidak terdengar lagi karena orang Papua merasakan manfaat dari implementasi UU Otsus.
Rupanya asumsi di atas ini belum menjadi kenyataan. Karena orang Papua tidak merasakan perubahan yang signifikan dalam hidupnya setelah pemberlakuan UU Otsus kendati triliunan rupiah sudah dikucurkan ke sana setiap tahun. Sama seperti sebelum 2001, anak-anak Papua di kampung sampai 2008 ini masih saja belum mendapatkan pendidikan bermutu. Puluhan orang Papua mati karena kolera, seperti di Kabupaten Dogiyai di mana sekitar 200-an warga Indonesia meninggal tetapi tidak digubris dengan cepat dan serius oleh pemerintah. Dengan atau tanpa izin, hutan Papua diambil-alih dan terus dibabat oleh perusahaan kelapa sawit dan kayu. Jumlah orang miskin di kampung-kampung terus bertambah.
Didorong oleh kecurigaaan dan ketidakpercayaan, pemerintah dengan sengaja menerbitkan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan UU Otsus, memaksakan penerapannya, yang berakibat pada kekacauan dalam implementasi UU Otsus. Terbukti bahwa selama tujuh tahun ini pemerintah belum menyatakan niatnya untuk mengimplementasikan UU Otsus Papua secara penuh dan konsisten. Dan patut disesalkan bahwa pemerintah belum merasa bersalah atas kebijakan-kebijakan yang kontroversial ini.

International Parliaments
for West Papua
Kini pemerintah mulai menuai hasil dari ketidakseriusannya dalam melaksanakan UU Otsus Papua. Kepercayaan orang Papua terhadap pemerintah sudah mencapai titik terendah. Ramainya pengibaran bendera Bintang Kejora dalam tahun ini menunjukkan bahwa masalah-masalah yang melatarbelakangi tuntutan “M” belum diatasi. Dan itu berarti pemerintah gagal mengimplementasikan UU Otsus.
Ternyata komunitas internasional pun mulai memperlihatkan tanda ketidakpercayaan terhadap Indonesia. Ketidakpercayaan ini terungkap ketika dua anggota Kongres Amerika yang setelah mengunjungi Papua tahun lalu menyatakan kekecewaannya terhadap buruknya implementasi UU Otsus melalui suratnya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah itu, 40 orang anggota Kongres Amerika meminta Presiden Yudhoyono untuk membebaskan dua tahanan politik orang Papua yakni Filep Karma dan Yusak Pakage.
Dalam bulan oktober tahun ini, kita semua dikagetkan oleh berita tentang peluncuran International Parliaments for West Papua (IPWP) dilakukan di House of Commons, 15 Oktober 2009, di London. Sekalipun tidak mewakili parlemen dan pemerintahnya, sejumlah anggota parlemen yang berasal dari beberapa negara telah bergabung dalam IPWP untuk secara bersama mengangkat masalah Papua. Dilaporkan bahwa peluncuran IPWP tersebut bukan acara parlemen Inggris, tapi inisiatif dari dua anggota parlemen saja. Mungkin karena itulah, Dubes Indonesia untuk Inggris menghibur kita dengan mengakui peluncuran trersebut tidak signifikan dan Menlu Hassan Wirajuda menyebut IPWP sebagai “hanya forum kongkow-kongkow”.
Sekalipun peluncuran IPWP tidak perlu dikhawatirkan, kita perlu tahu agenda-agendanya. Seperti yang dilaporkan oleh Cenderawasih Pos (22/10/2008), IPWP akan memperjuangkan, antara lain penentuan nasib sendiri yang baru sesuai hukum internasional bagi Papua, penarikan militer dari Papua, penempatan pasukan perdamaian di Papua di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penghentian penjualan senjata kepada Indonesia sampai semua militer ditarik keluar dari Papua, pengiriman misi pencarian fakta ke Papua. IPWP akan berjuang agar Sekretaris Jenderal PBB meninjau kembali peranan PBB dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, dan mengirim peninjau khusus PBB untuk memantau situasi hak-hak asasi manusia di Papua. Maka, jelas bahwa IPWP tidak menyinggung sama sekali tentang UU Otsus Papua dan penyelesaian masalah Papua melalui dialog.

Rebut Kepercayaan
Kita sulit memprediksi dampak peluncuran IPWP ini. Kita hanya bisa berasumsi bahwa kepercayaan dan dukungan komunitas internasional terhadap Indonesia bisa saja berkurang, sekalipun hal ini tidak bisa ditafsirkan sebagai dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Penurunan dukungan ini dapat saja terjadi, terlebih apabila Pemerintah tidak memperlihatkan niatnya untuk mengimplementasikan UU Otsus secara penuh dan konsisten sebagaimana yang diperlihatkan sejak 2001 hingga kini.
Mengingat dampak yang tidak sederhana ini, pemerintah mesti berusaha merebut kembali kepercayaan orang Papua serta mempertahankan dukungan internasional. Pertama-tama, pemerintah mesti mengakui secara jujur bahwa kegagalannya mengimplementasikan UU Otsus Papua secara konsisten telah melunturkan kepercayaan orang Papua dan mengurangi dukungan komunitas internasional terhadap masalah Papua.
Pemerintah juga mesti menyadari bahwa kepercayaan orang Papua dan komunitas internasional tidak bisa direbut dengan cara menangkap dan memenjarakan orang-orang Papua yang mengibarkan bendera Bintang Kejora atau yang memimpin demonstrasi dukungan terhadap peluncuran IPWP. Protes kepada anggota parlemen Inggris dan Kongres Amerika yang mengutak-utik soal Papua pun tidak akan membuahkan kepercayaan terhadap Indonesia. Kepercayaan yang mulai pudar bisa direbut kembali melalui dialog damai. Sebab itu pemerintah mesti bersedia melakukan dialog dengan orang Papua untuk membahas tentang implementasi UU Otsus Papua.
Dialog ini sangat diperlukan agar pemerintah dan orang Papua secara bersama-sama dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat implementasi UU Otsus, mencari solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, serta membagi dan menetapkan peran bagi setiap stakeholder guna melaksanakan UU Otsus Papua secara utuh dan konsisten.

Penulis adalah dosen STFT Fajar Timur Abepura, Jayapura, Papua.

" Salam kompak selalu "